Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui profesi penilai. Padahal,
profesi ini menarik untuk digeluti. Objek penilaian juga banyak; mulai
dari aset pemerintah, jaminan kredit bank, hingga aset perusahaan. Tarif
jasanya menggiurkan.
Dalam sepekan terakhir, kesibukan Budi
Prasodjo semakin padat. Saban hari, lelaki berusia 47 tahun ini harus
menyiapkan materi rapat, presentasi data, mengkaji ulang dokumen laporan
keuangan, dan membuat laporan analisis penilaian aset sebuah hotel
bintang tiga di Bali.
Sebagai tenaga penilai publik, Budi harus
melakukan penilaian (appraisal) secara independen sesuai dengan
permintaan klien. Misalnya, ia harus melakukan verifikasi dan
identifikasi data yang diberikan kliennya, seperti data tarif penginapan
di daerah setempat Rp 1 juta per malam. “Itu harus diverifikasi, benar
atau tidak. Jadi, bukan semata mengamini pernyataan klien,” ungkap
Senior Partner di kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) Sugianto &
Rekan ini.
Memberikan informasi data dan analisis sebuah objek
yang dinilai, memang, menjadi rutinitas Budi sehari-hari sebagai seorang
penilai. Sesuai dengan namanya, penilai adalah orang yang memberikan
opini nilai atas objek tertentu berdasarkan data atau fakta objektif dan
relevan. Penilai menggunakan metode atawa teknik tertentu dalam
pekerjaannya.
Tak heran, profesi ini punya peran besar bagi
bisnis perusahaan dan proses pemerintahan. Apalagi, pemerintah sedang
membangun banyak proyek infrastruktur publik yang masuk dalam Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) bernilai
ribuan triliun.
Menurut Hamid Yusuf, Ketua Umum Masyarakat
Profesi Penilai Indonesia (Mappi), profesi penilai mulai dikenal di
negara kita sejak 1970-an. Kala itu, jasa penilai banyak dimanfaatkan
untuk kepentingan investasi di Tanah Air. Banyak perusahaan asing
mendatangkan tim penilai dari luar Indonesia. Yang pertama memakai jasa
penilai ialah perusahaan Filipina. Jadi, bisa dibilang, profesi ini
dikenalkan oleh orang Filipina.
Dari situlah, jasa penilai mulai
populer di negara kita. Tak sedikit kalangan swasta yang tertarik
memakai jasa penilai untuk menilai aset perusahaannya. Salah satunya
sektor perbankan. Penilai dibutuhkan untuk menilai aset debitur yang
menjadi jaminan saat mengajukan kredit di bank.
Adapun di
pemerintahan, jasa penilai diperlukan untuk kepentingan penilaian aset
pemerintah. Contoh, menilai objek pajak, seperti nilai jual objek pajak
(NJOP) serta pajak bumi dan bangunan (PBB).
Sebagai konsekuensi
lahirnya era otonomi daerah, jasa penilai juga berperan membantu
pemerintah daerah dalam menyusun database aset dan kekayaannya. Data ini
menjadi dasar dalam perencanaan pembangunan daerah. Tujuannya tak lain
untuk mengoptimalkan potensi perekonomian daerah.
Tidak memihak
Ada
sejumlah metode dalam menentukan nilai sebuah objek. Contohnya, nilai
pasar properti. Budi bilang, definisi nilai pasar adalah estimasi
perkiraan sejumlah uang yang dibutuhkan dua pihak, penjual dan pembeli,
dalam melakukan transaksi tanpa paksaan.
Untuk mencapai nilai
pasar tadi, ada beberapa pendekatan yang digunakan. Salah satunya ialah
data pasar. Jadi, seorang penilai harus mengetahui berapa nilai pasar
tanah di sekitar lokasi penilaian. Selain itu, bisa juga memakai teknik
adjustment, yang merujuk pada satu angka tertentu yang diperkirakan
wajar. Pendekatan ini biasanya dipakai untuk penilaian tanah, mesin,
kapal, pesawat, dan kendaraan bermotor.
Tapi, Budi menegaskan,
seseorang yang berprofesi sebagai penilai publik mesti berdiri di
tengah, meskipun jasanya dibayar oleh klien. Ambil contoh, ketika
menilai harga pasar tanah milik masyarakat yang akan dibebaskan untuk
pembangunan jalan tol. “Seorang penilai tidak boleh menguntungkan
pemerintah ataupun masyarakat. Dia harus menilai harga tanah secara
wajar berdasarkan penilaian,” imbuhnya.
Awalnya, Budi
menerangkan, izin pembinaan profesi penilai diatur melalui Keputusan
Menteri Perdagangan Nomor 161/VI/77 tentang Izin Usaha Jasa Penilai di
Indonesia. Sesuai dengan kebutuhan, industri appraisal terus berkembang.
Pada 2008, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Nomor 125/PMK.01/2008
tentang Jasa Penilai Publik. Dalam beleid ini, usaha jasa penilai yang
berbentuk perseroan terbatas diubah menjadi kantor jasa penilai publik.
Penilai lebih dianggap sebagai pemberi jasa.
Dengan keluarnya
aturan main itu, saat ini profesi penilai memiliki dua izin atau lingkup
tugas penilaian. Yakni, penilaian lingkup properti dan penilaian
lingkup bisnis. Lingkup penilaian di bidang properti antara lain
mencakup penilaian objek tanah dan bangunan, baik properti simpel
seperti rumah tinggal sampai properti komersial semisal mal, gedung
perkantoran, dan hotel. Yang lain adalah penilaian mesin dan peralatan,
perkebunan, pertambangan, hutan, kapal, pesawat, serta satelit.
Sementara
itu, area penilaian bisnis mencakup penilaian pasar wajar atas aset
atau saham perusahaan. “Yang lain adalah penilaian aktiva tidak berwujud
seperti nilai merek, hak paten, dan merek dagang,” jelas Budi yang juga
menjabat Sekretaris Jenderal Mappi.
Budi sendiri menekuni
profesi penilai sejak 1990. Ia berkisah, awalnya, ia tercemplung di
profesi ini karena mengikuti jejak temannya. “Teman saya bilang, dunia
penilai berbeda dengan arsitektur yang merupakan disiplin ilmu saya
ketika kuliah. Kemudian, saya coba dan akhirnya keterusan sampai
sekarang,” katanya.
Bayaran tinggi
Tapi,
profesi penilai sempat Budi tinggalkan pada 1997. Di tahun itu, Budi
masuk kembali ke dunia arsitektur dan bekerja di perusahaan pengembang
Equator Group. Perusahaan ini bermarkas di Surabaya, Jawa Timur. Namun,
hanya dua tahun dia berkarier di sana. Tahun 1999, Budi kembali menekuni
profesi penilai publik.
Soalnya, Equator Group terkena imbas
krisis moneter. Banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Cuma, dia melihat temannya yang berprofesi sebagai penilai, masih bisa
bekerja. Saat itu, jasa penilai dibutuhkan oleh Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) untuk menilai aset yang akan dijual.
Kini,
mayoritas klien Budi merupakan perusahaan besar, seperti Grup Gapura
Prima, Grup Pan Asia, Grup Mayapada, BNI, Bank Mandiri, Bank
Commonwealth, UOB Indonesia, Grup Lippo, dan Grup Medco.
Selama
menjalani profesi penilai, Budi pernah menangani kontrak penilaian
dengan imbalan sebesar Rp 700 juta. “Pada 2009, saya ikut tim penilaian
aset BPPN sebanyak 700 titik yang tersebar di Jabodetabek. Kontrak itu
selesai dalam tiga bulan,” ujar dia.
Menurut Rengganis Kartomo,
salah satu pemilik KJPP Rengganis, Hamid & Rekan, profesi penilai
memiliki prospek cerah. Sebab, antara jumlah penilai dan kebutuhan yang
ada belum seimbang. Saat ini, jumlah penilai di seluruh Indonesia hanya
sekitar 3.500 orang.
Dari jumlah itu, penilai berizin atau
penilai publik hanya 10% atau 350 orang. Sekitar 85%-nya ada di Jakarta.
“Bisa dibayangkan, 350 orang penilai melayani sekitar 250 juta orang di
Indonesia. Jadi, potensi profesi ini sangat besar,” ujar Anis,
panggilan sehari-hari Rengganis Kartomo yang menekuni profesi ini sejak
tahun 1996.
Penghasilan sebagai penilai juga tak kalah menggiurkan. Anis mengungkapkan, penghasilan seorang penilai tidak berdasarkan fee based atau success fee,
melainkan berdasarkan masa kontrak kerja. Di Mappi, sudah ada konsensus
tarif upah seorang penilai. Tarif jasa penilai muda berkisar Rp 1 juta
per hari, penilai madya Rp 2 juta, dan penilai senior Rp 4 juta per
hari. Menggiurkan, bukan?
sumber dokumen :
http://peluangusaha.kontan.co.id/news/profesi-penilai-aset-mahal-lantaran-langka/2012/11/14
Pages
Category Artikel
- Berita Property (12)
- Info Apartemen (2)
- Info KPR (3)
- Investor Corner (5)
- Prediksi (2)
- Tips Property (5)
Cari kata di web ini
Wednesday, April 10, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Makasih penjelasan tentang penilai asetnya.
ReplyDelete